Anarkisme dan Gerakan Anti Cina yang terjadi di Wilayah Semarang, Solo dan Sekitarnya Seputar Tahun 1965 dan Tahun 1998
















Oleh: Petra Wahyu Utama
Di kalangan orang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese ataukah "Cino". Istilah Cina sebenarnya merupakan ‘hukuman’ yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965.
Walaupun orang Cina sudah beranak cucu di bumi Indonesia selama ratusan tahun, sampai saat ini masih saja berkembang anggapan orang Cina sebagai perantau, orang yang menumpang hidup dan cari makan di negeri orang. Orang Cina juga menyandang label WNI lengkap dengan berbagai atribusi yang cenderung berkonotasi kurang menyenangkan. Diibaratkan orang Cina hanya diterima di beranda depan rumah dan belum diterima di dalam rumah sebagai keluarga sendiri.
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri dalam format yang berubah. Pergeseran tersebut dari ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC memburuk.Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas.
Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.
Karena berbagai tekanan dan ketidakpastian tersebut, maka orang Cina berada di persimpangan jalan. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan pada tahun 1998 yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi identifikasi diri di kalangan orang Cina di Indonesia. Setidaknya ada 4 orientasi yang ditemukan.
Di Jawa Tengah sendiri, sempat beberpa kali terjadi diskriminasi terhadap etnis Cina. Kota-kota besar seperti Semarang, Solo, dan DIY bergejolak, terjadi banyak kerusuhan yang dalam hal ini Etnis Cinalah yang menjadi sasaran. Pasca penumpasan G30S PKI, banyak masyarakat pribumi yang melakukan serangkaian tindakan anarkis terhadap kaum minoritas ini. Di Semarang sendiri, hampir seluruh etnis Cina yang memiliki toko atau tempat usaha dirampok, dibakar dan dijarah. Yang lebih parah lagi adalah banyak wanita keturunan Cina menjadi korban kebiadapan dan pemerkosaan. Kejadian demi kejadian berkembang di sekitar Jawa Tengah seperti Solo dan sebagian DIY. Di sini Etnis Cina menjadi bulan-bulanan dan sasaran kemarahan dimana kaum cina itu sendiri sebernarnya juga tidak tahu apa kesalahan yang mereka perbuat.
Bisa disimpulkan dari paparan di atas, bahwa krisis identitas yang terjadi di kalangan etnis Cina di Indonesia sangat terkait dengan nuansa kebijakan politik penguasa, dimana mereka memiliki kepentingan tertentu untuk menempatkan etnis Cina sesuai dengan kemauan politiknya. Posisi minoritas yang cenderung rentan, selalu memojokkan etnis Cina dari waktu ke waktu. Krisis identitas etnis Cina terutama memuncak pasca pemberontakan G30S PKI yang menempatkan status etnis Cina dalam tataran terburuk. Dalam upaya menemukan kembali citra identitas sosial yang positif, etnis Cina menggunakan modus yang variatif baik dalam bentuk mobilitas sosial maupun dengan perubahan sosial.
Jika melacak sejarah bangsa ini, maka kita akan segera tahu bahwa rasialisme anti-Tionghoa terbesar dan kali pertama, terjadi pada 1740. Itu adalah sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan Chineezenmoord (”Pembantaian orang-orang China”) di Batavia. Pada saat itu, lebih dari 10.000 nyawa orang China melayang. Banyak sejarawan menduga, otak dari genocide (”pembersihan etnis”) itu adalah VOC, karena Tionghoa dianggap sebagai pesaing strategis dalam bidang perekonomian.
Kita tahu, bangsa Tionghoa pada saat itu menguasai di hampir semua sektor perdagangan. Para syahbandar (penguasa pelabuhan) banyak dikuasai Tionghoa. Orang-orang Tionghoa juga banyak yang menduduki jabatan sebagai adipati dan elite kerajaan. Hal itu, karena jalinan/relasi Jawa-Tionghoa sudah dibangun sejak masa klasik, jauh sebelum kolonial Belanda datang ke negeri ini.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi". Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
Tanpa terduga sebelumnya, Presiden Soekarno pada bulan November 1959 dengan tiba-tiba menanda tangani Peraturan Pemerintah No.10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan P.P.-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1960. Sudah tentu peraturan yang sangat rasis ini sangat mengejutkan dan
menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Karena pada  masa itu Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga  terjadi kesimpang siuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI.
Para penguasa militer di daerah-daerah dengan seenaknya mengusir bukan saja  orang-orang Tionghoa asing tetapi juga orang-orang Tionghoa yang berdasarkan UU  Kewarganegaraan tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia. Sebenarnya  P.P.-10 merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan kabinet  Djuanda, Rachmat Moeljomiseno pada bulan Mei 1959 yang berisi larangan bagi  orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Akibat P.P.-10  hubungan persahabatan antara pemerintah RI dan pemerintah RRT menjadi  terganggu. Pemerintah RRT mengirim kapal-kapalnya untuk mengangkut orang-orang Tionghoa yang ingin meninggalkan Indonesia untuk berdiam di Tiongkok. Hal ini membuktikan pemerintah RI masuk ke dalam perangkap negara-negara imperialis Barat yang ingin merusak hubungan persahabatan Indonesia dengan Tiongkok.
Aksi kekerasan anti Tionghoa baru muncul kembali pada tanggal 10 Mei 1963 di kota Bandung dan sekitarnya. Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi yang disebabkan terjadinya senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran, dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta dijarah massa. Kemudian aksi anarkis meluas ke kota-kota lainnya di Jawa Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dllnya. Sangat ironis, Yap Tjwan Bing, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang turut mendirikan Republik ini juga menjadi korban aksi anarkis tersebut. Kejadian ini sangat mengecewakan dirinya, sehingga dengan alasan mengobati penyakit
puteranya, ia sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
Di masa Orde Baru setumpuk peraturan diskriminatif terhadap orang Tionghoa dikeluarkan oleh pemerintah rejim Soeharto tanpa mendapatkan protes atau peralawanan sedikitpun. Herannya kelahiran seluruh peraturan tersebut didorong dan disponsori oleh sekelompok etnis Tionghoa sendiri (LPKB). Dalam suatu diskusi di kantor majalah Gamma pada bulan September 1999, K.Sindhunatha dengan tanpa ekspresi menyatakan bahwa konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina berasal dari dirinya. Malahan ia menyatakan bahwa Pak Harto cukup bermurah hati dengan mengijinkan etnis Tionghoa melaksanakan dan merayakannya di dalam rumah, karena konsep yang disodorkan berisi larangan total.
Di samping itu di masa Orde Baru aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar mulai dari Medan sampai ke Makassar. Aksi-aksi kekerasan tersebut terutama di pulau Jawa bukan saja secara "kuantitas" meningkat, tetapi juga secara "kualitas" yang mencapai puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Namun puncak politik anti Tionghoa berlangsung pada masa pemerintahan Orde Baru. Pertama yang dilakukan rejim Soeharto, selaras dengan kepentingan politik Amerika Serikat dan Inggris, adalah merusak hubungan persahabatan dan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan RRT. Kedua dengan menuduh Baperki terlibat dalam Gerakan 30 September, seluruh etnis Tionghoa secara politik dibuat tidak berdaya dengan mengeluarkan setumpuk peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif. Ketiga memprogram etnis Tionghoa agar menjauhi wilayah politik. Yang keempat menjadikan segelintir etnis Tionghoa menjadi
kroni untuk melakukan KKN agar dapat dijadikan kambing hitam apabila pada suatu saat timbuil perlawanan dari rakyat Solusi "masalah Tionghoa".
Adalah kenyataan sejarah bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral bangsa kita, bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia. Etnis Tionghoa mempunyai akar sejarah yang sangat panjang di bumi Indonesia, hampir seribu tahun lamanya. Bandingkan dengan sejarah bangsa Amerika dan Australia yang hanya beberapa ratus tahun lamanya. Budaya Tionghoa telah mengisi khasanah budaya Indonesia, baik dalam bahasa, kesenian, makanan dsbnya. Oleh karenanya seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali dengan lapang dada harus menerima keberadaan etnis Tionghoa secara utuh, apa adanya. Demikian juga seluruh etnis Tionghoa harus menempatkan dirinya tanpa reserve sebagai bagian integral bangsa Indonesia.
Adalah tugas dan kewajiban seluruh etnis Tionghoa di Indonesia untuk membangun bangsa dan negara menuju masyarakat yang kita cita-citakan. Sebuah masyarakat yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Sebaliknya seluruh jajaran pemerintahan baik pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif harus memperlakukan etnis Tionghoa sama dengan komponen bangsa lainnya. Seluruh peraturan mulai dari UUD, Undang- undang, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Gubernur dsbnya harus bersih dari hal-hal yang berbau diskriminasi.
Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi identifikasi diri di kalangan orang Cina di Indonesia. Setidaknya ada 4 orientasi yang ditemukan :
Kelompok pertama, adalah mereka yang percaya bahwa mereka adalah etnis Cina dan akan selalu menjadi etnis Cina. Oleh karena itu dalam mengidentifikasikan diri, mereka selalu kembali ke asal usul dan warisan budaya etnis Cina. Kelompok ini merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan Partai Tionghoa.
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasa telah berhasil berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang merasa asal usul etnis dan budaya mereka merupakan kutukan yang menyulitkan posisi mereka untuk menjadi bagian yang utuh dari masyarakat dimana mereka tinggal. mereka yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan melalu platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan Partai Bhineka Tunggal Ika
Kelompok ketiga, adalah mereka yang berkeyakinan bahwa mereka telah melampaui batas etnis, negara dan bangsa serta telah menjadi seorang yang globalis dan internasionalis. Kelompok keempat, adalah mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara budaya maupun politis. Kelompok ini lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group.
Kelompok keempat, adalah mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara budaya maupun politis. mereka yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggunan. Misalnya dengan mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia.
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui mobilitas sosial dan perubahan sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka.
Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek.
Situasinya nampak berbeda sama sekali ketika memasuki era kemerdekaan. Persoalan yang mengedepan terutama adalah tentang kepastian status kewarganegaraan. Pada tahun 1994 orang Cina pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan baik yang berskala nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak bisa segera memberikan kepastian. Bahkan undang-undang yang mengatur hal ini ditengarai akan membatasi jumlah orang Cina yang bisa menjadi warganegara. Sementara pemerintah RRC pada waktu itu masih memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi orang Cina di perantauan, yaitu disamping menjadi warganegara di negara tempat merantau juga melekat kewarganegaraan Cina.
Sejak terjadinya peristiwa pemberontakan PKI 1965, keadaannya berbalik sama sekali. Konsep integrasi secara politis telah dikategorikan sebagai bagian dari ideologi komunis sosialis. Dengan demikian pilihan satu satunya yang diberi ruang oleh penguasa adalah dengan asimilasi. Sebenarnya disinilah akar permasalahannya mengapa pencarian identitas etnis Cina menjadi sedemikian rumit. Pasca peristiwa 1965 status etnis Cina sedang dalam kondisi terendah. Mereka dipojokkan oleh penguasa maupun masyarakat bukan Cina. Pada saat itu berbagai kekerasan massa anti Cina mulai marak. Mengacu pada teori identitas sosial, maka ketika suatu kelompok citranya sedang terpuruk selalu ada upaya untuk bereaksi terhadap keadaan ini dalam rangka meraih kembali citra / identitas sosial yang positif. Adapun modus yang biasa terjadi adalah dengan mobilitas sosial dan perubahan sosial.
Seperti yang terjadi di Wilayah Semarang, Solo, DIY dan sekitarnya. Pasca Peristiwa G30S PKI banyak etnis Cina yang menjadi korban, di Semarang sendiri dampak dari hal ini sangatlah terasa. Banyak diskriminasi-diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat Pribumi terhadap kaum keturunan ini. Dimulai dari pembakaran-pembakaran pertokoan dan tempat usaha orang-orang Cina. Jalan Mataram menjadi saksi bisu kebiadapan ini, warga Tionghoa sendiri juga tidak tahu kesalahan apa yang mereka perbuat sehingga hal seperti ini terjadi menimpa mereka. Seolah kesalahan yang sangat besar telah mereka perbuat. Kekejian demi kekejian terus berlangsung, yang lebih parah lagi adalah kejadian seperti pemerkosaan yang banyak menimpa wanita-wanita Cina pada saat itu.
Pada masa pemerintahan Orde Baru keadaan berangsur-angsur membaik, namun diskriminasi ini masih tetap terus berlangsung. Soeharto pada saat itu melakukan pembatasan pembatasan terhadap gerak kaum etnis Cina. Pada era ini kaum Cina berada pada kondisi seperti mau hidup namun segan, mau mati tapi tak mau. Rasialis masih terus berlangsung meskipun kekerasan-kekerasan fisik sudah tidak ada lagi.
Kondisi parah terjadi kembali pada tahun 1998 setelah Soeharto lengser. Etnis Cina kembali menjadi korban, gejolak-gejolak terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Etnis Cinapun  kembali tumbal keadaan.
Berawal dari  Solo, gejolak terjadi begitu dahsyat. Penjarahan, perampasan, perampokan, pemerkosaan, dan pembakaran kembali terjadi. Dan bisa ditebak siapakah yang menjadi korban, tentunya Etnis Cina lagi. Peristiwa yang dikenal masyarakat dengan ‘ Obong-Obong Solo ‘ ini menelan banyak korban. Dari Solo inilah kejadian demi kejadian mulai menyebar ke wilayah lain. Seolah tidak mau kalah, Semarang juga melakukan hal yang serupa. Bahkan di Semarang sweeping terhadap Cina keturunan dilakukan hingga ke sekolah-sekolah dan tempat-tempat umum. Penculikan, penganiayaan dan pemerkosaan dilakukan secara terang-terangan. Sebagian dari orang-orang Cina yang lolos dari peristiwa ini, banyak yang lari ke luar negeri.
Persoalan-persoalan yang digambarkan ini adalah gambaran nyata bengsa Indonesia. Dalam konteks ini diskriminasi yang terjadi bukan hanya melanda daerah sekitar Jawa Tengah saja melainkan sudah melanda seluruh bangsa Indonesia. Kenyataan ini menggambarkan masyarakat Indonesia yang masih sulit untuk menerima perbedaan. Keragaman Etnis, Budaya, Agama, dan suku di Indonesia seharusnya menjadi bahan pembelajaan bangsa ini untuk belajar menghargai satu sama lain.
Kasus-kasus yang melanda Etnis keturunan Cina seharusnya tidak perlu terjadi apabila Bangsa Indonesia sendiri menerima pebedaan sebagai suatu keindahan. Warga keturunan ini juga sama seperti kita, lahir, tumbuh dan besar di Indonesia. Layakkah apabila kita memperlakukan mereka secara keji seperti yang terjadi pada sekitar tahun 1965 dan 1998?  Itulah pertanyaan yang harus kita simpan di dalam benak kita sebagai seorang manusia yang hidup didalam sebuah bangsa, Bangsa Indonesia. 
Dengan dicabutnya peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif dan Imlek dijadikan hari libur nasional, masalah Tionghoa telah berakhir dan diskriminasi rasial telah lenyap dari bumi Indonesia? Sunguh naif apabila kita berpikiran dan berpendapat demikian. Berakhirnya masalah Tionghoa dan lenyapnya diskriminasi rasial hanya dapat tercapai apabila jurang pendidikan dan ekonomi telah berhasil dihilangkan.
Hal ini baru dapat tercapai apabila kita telah berhasil membangun bangsa dan negara yang demokratis, bersih dari KKN dan selalu menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Untuk itulah etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia harus bersama-sama komponen bangsa lainnya
membangun bangsa dan negara sesuai dengan apa yang kita cita-citakan tersebut. Namun harus kita sadari bahwa tugas ini tidak mudah, jangankan untuk mencapai semuanya itu, untuk keluar dari krisis ekonomi saja sampai saat ini kita belum juga berhasil.
Ke depan, rezim mana pun yang berkuasa di negeri ini harus memelihara kerukunan dan kebersamaan serta menjaga persaudaraan universal antarmanusia. Ingatlah, bahwa Indonesia dibangun tidak oleh dan untuk satu atau beberapa etnis saja, melainkan suatu konsepsi keberagaman yang utuh dalam wilayah kesatuan dan persatuan, dari semua kekuatan etnisitas yang ada di seluruh penjuru Nusantara, termasuk Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa ini.


*Diolah dari berbagai sumber
 
     











Komentar

  1. ini pendapat ente smw ya, sumbernya gak ada boss??

    BalasHapus
  2. Ya memang saya akui orang cina itu lebih maju, pandai, cerdas, ulet, pintar, disiplin, hemat, produktif (termasuk produktif anak) dsb... dsbbb... dibandingkan orang pribumi, tapi kalo begini terus kondisinya orang pribumi akan benar-benar tersingkir, dan suatu saat diindonesia akan didominasi oleh cina kaya, dan yg pribumi akan makin bertambah miskin, jadi apa bedanya dengan dijajah, bahkan mungkin lama2 indonesia berubah jadi negara cina bagian, kenapa orang cina gak mau pulang ke negaranya yang masih amat luas sekali itu, seolah-olah memang ada misi tertentu untuk menguasai negara2 lain, so.. mbok orang cina itu coba juga memajukan orang2 pribumi supaya sama2 kaya...jangan mengutamakan rasnya sendiri....huk huk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ras kami Tionghoa..jadi jangan disebut cina, karena itu negaranya...menurut cerita nenek buyut saya.. Orang Tionghoa berbeda dengan Jepang ataupun VOC, kami disini hanya untuk melakukan perdagangan karena wilayah Indonesia yang strategis dan warganya bisa diajak berbisnis bersama.. Warga Tionghoa juga mengajak orang pribumi untuk bekerja sama, sehingga kami juga 'sedikit' membuat Indonesia lebih maju.. Soal produktif, kami menikah dengan orang Indonesia.. Sehingga menghasilkan ras indo-chinesse. #jangan terlalu dianggap #abaikan #biasa #blablabla

      Hapus
    2. Ras kami Tionghoa..jadi jangan disebut cina, karena itu negaranya...menurut cerita nenek buyut saya.. Orang Tionghoa berbeda dengan Jepang ataupun VOC, kami disini hanya untuk melakukan perdagangan karena wilayah Indonesia yang strategis dan warganya bisa diajak berbisnis bersama.. Warga Tionghoa juga mengajak orang pribumi untuk bekerja sama, sehingga kami juga 'sedikit' membuat Indonesia lebih maju.. Soal produktif, kami menikah dengan orang Indonesia.. Sehingga menghasilkan ras indo-chinesse. #jangan terlalu dianggap #abaikan #biasa #blablabla

      Hapus
  3. Ourblog: diambil dari ber berbagai sumber boss

    katro: Seharusnya seperti itu, adanya kerusuhan khan ada sebabnya boss

    BalasHapus
  4. orang china di indonesia itu seperti orang negro di amerika... identik dengan cukong dan mafia

    BalasHapus
  5. Anda mau tau bagaimana DISKRIMINATIF-nya ETNIS TIONGHOA kepada PRIBUMI? Anda butuh testimoni dan bukti? Silahkan hubungi saya, seorang PELAKU dan KORBAN DISKRIMINASI itu

    BalasHapus
  6. xcbxb: Ras satu dengan yang lainnya tidak bisa disamakan boss... yang pasti itu terjadi karena sentimen negatif.

    hermawan udiantoro: tiap orang memang memiliki trauma sendiri2. yang pasti sebagai WNI memiliki kewajiban untuk menjaga kerukunan

    BalasHapus
  7. Jangankan orang biasa, nabi saja banyak musuhnya. Yang penting hidup di dunia harus rukun. Ingat hukum tabur tuai, siapa menabur akan menuai.
    Kalau bangsa dan negara mau maju tirulah negara2 maju. Tidak masalah rasnya apa..asal mau membangun bangsa ke arah kemajuan harus didukung. Sing penting akuurrr....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxism : The Root of Comunism, HISTORY SUBJECT FOR DJUWITA SENIOR HIGHSCHOOL Tanjungpinang - Petra Wahyu Utama

Semarang dan Kisah Tentang Congyang

SHINTA, DISKOTEK PERTAMA DI SEMARANG